1. Jelaskan
perbandingan cyberlaw, computer act Malaysia, council of Europe convention on
cyber crime!
Cyber Law
Cyber Law adalah aspek hukum yang artinya berasal dari
Cyberspace Law, dimana ruang lingkupnya meliputi aspek-aspek yang berhubungan
dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan
teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan memasuki dunia cyber
atau maya. Sehingga dapat diartikan cybercrome itu merupakan kejahatan dalam
dunia internet.
Cyber Law merupakan seperangkat aturan yang dibuat oleh
suatu Negara tertentu, dan peraturan yang dibuat itu hanya berlaku kepada
masyarakat Negara tertentu. Cyber Law dapat pula diartikan sebagai hukum yang
digunakan di dunia cyber (dunia maya), yang umumnya diasosiasikan dengan
internet.
Cyber Law Negara Indonesia
Munculnya Cyber Law di Indonesia dimulai sebelum tahun 1999.
Fokus utama pada saat itu adalah pada “payung hukum” yang generic dan sedikit
mengenai transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada
sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya.
Namun pada kenyataannya hal ini tidak terlaksana. Untuk hal yang terkait dengan
transaksi elektronik, pengakuan digital signature sama seperti tanda tangan
konvensional merupakan target.
Jika digital signature dapat diakui, maka hal ini akan
mempermudah banyak hal seperti electronic commerce (e-commerce), electronic procurement
(e-procurement), dan berbagai transaksi elektronik lainnya. Cyber Law digunakan
untuk mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan
internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada
Cyber Law ini juga diatur berbagai macam hukuman bagi kejahatan melalui
internet. Cyber Law atau Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE) sendiri baru ada di Indonesia dan telah disahkan oleh DPR pada tanggal 25
Maret 2008. UU ITE terdiri dari 13 bab dan 54 pasal yang mengupas secara
mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi di
dalamnya. Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal
27-37), yaitu:
Pasal 27: Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan.
Pasal 28: Berita bohong dan Menyesatkan, Berita kebencian
dan permusuhan.
Pasal 29: Ancaman Kekekrasan dan Menakut-nakuti.
Pasal 30: Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking.
Pasal 31: Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi.
Ada satu hal yang menarik mengenai rancangan cyber law ini
yang terkait dengan terotori. Misalkan, seorang cracker dari sebuah Negara
Eropa melakukan pengrusakan terhadap sebuah situs di Indonesia. Salah satu
pendekatan yang diambil adalah jika akibat dari aktivitas crackingnya terasa di
Indonesia, maka Indonesia berhak mengadili yang bersangkutan. Yang dapat
dilakukan adalah menangkap cracker ini jika dia mengunjungi Indonesia. Dengan
kata lain, dia kehilangan kesempatan/ hak untuk mengunjungi sebuah tempat di
dunia.
Cyber
Law di Malaysia (Computer Crimes Act)
Lima cyberlaws telah berlaku pada tahun
1997 tercatat di kronologis ketertiban. Digital Signature Act 1997 merupakan
Cyberlaw pertama yang disahkan oleh parlemen Malaysia. Tujuan Cyberlaw ini,
adalah untuk memungkinkan perusahaan dan konsumen untuk menggunakan tanda
tangan elektronik (bukan tanda tangan tulisan tangan) dalam hukum dan transaksi
bisnis. Computer Crimes Act 1997 menyediakan penegakan hukum dengan kerangka
hukum yang mencakup akses yang tidak sah dan penggunaan komputer dan informasi
dan menyatakan berbagai hukuman untuk pelanggaran yang berbeda komitmen. Para
Cyberlaw berikutnya yang akan berlaku adalah Telemedicine Act 1997. Cyberlaw
ini praktisi medis untuk memberdayakan memberikan pelayanan medis/konsultasi
dari lokasi jauh melalui menggunakan fasilitas komunikasi elektronik seperti
konferensi video. Berikut pada adalah Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia
1998 yang mengatur konvergensi komunikasi dan industri multimedia dan untuk
mendukung kebijakan nasional ditetapkan untuk tujuan komunikasi dan multimedia
industri. The Malaysia Komunikasi dan Undang-Undang Komisi Multimedia 1998
kemudian disahkan oleh parlemen untuk membentuk Malaysia Komisi Komunikasi dan
Multimedia yang merupakan peraturan dan badan pengawas untuk mengawasi
pembangunan dan hal-hal terkait dengan komunikasi dan industri multimedia.
Departemen Energi, Komunikasi dan
Multimedia sedang dalam proses penyusunan baru undang-undang tentang
Perlindungan Data Pribadi untuk mengatur pengumpulan, kepemilikan, pengolahan
dan penggunaan data pribadi oleh organisasi apapun untuk memberikan perlindungan
untuk data pribadi seseorang dan dengan demikian melindungi hak-hak privasinya.
Ini to-be-undang yang berlaku didasarkan pada sembilan prinsip-prinsip
perlindungan data yaitu:
- Cara pengumpulan data pribadi
- Tujuan pengumpulan data pribadi
- Penggunaan data pribadi
- Pengungkapan data pribadi
- Akurasi dari data pribadi
- Jangka waktu penyimpanan data pribadi
- Akses ke dan koreksi data pribadi
- Keamanan data pribadi
- Informasi yang tersedia secara umum.
- Melakukan modernisasi hukum pidana nasional beserta hukum acaranya, yang diselaraskan dengan konvensi internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut
- Meningkatkan sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai standar internasional
- Meningkatkan pemahaman serta keahlian aparatur penegak hukum mengenai upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime
- Meningkatkan kesadaran warga negara mengenai masalah cybercrime serta pentingnya mencegah kejahatan tersebut terjadi
- Meningkatkan kerjasama antar negara, baik bilateral, regional maupun multilateral, dalam upaya penanganan cybercrime, antara lain melalui perjanjian ekstradisi dan mutual assistance treaties
- pada Kantor Wilayah), lembar pertama dari formulir tersebut ditandatangani di atas materai Rp.6.000 (enam ribu rupiah).
- Surat permohonan pendaftaran ciptaan mencantumkan:Nama, kewarganegaraan dan alamat pencipta.
Council
of Europe Convention on Cyber crime (Eropa)
Saat ini berbagai upaya telah
dipersiapkan untuk memerangi cybercrime. The Organization for Economic
Co-operation and Development (OECD) telah membuat guidelines bagi para pembuat
kebijakan yang berhubungan dengan computer-related crime, di mana pada tahun
1986 OECD telah mempublikasikan laporannya yang berjudul Computer-Related
Crime: Analysis of Legal Policy. Laporan ini berisi hasil survey terhadap
peraturan perundang-undangan Negara-negara Anggota beserta rekomendasi
perubahannya dalam menanggulangi computer-related crime tersebut, yang mana
diakui bahwa sistem telekomunikasi juga memiliki peran penting dalam kejahatan
tersebut.
Melengkapi laporan OECD, The Council of
Europe (CE) berinisiatif melakukan studi mengenai kejahatan tersebut. Studi ini
memberikan guidelines lanjutan bagi para pengambil kebijakan untuk menentukan
tindakan-tindakan apa yang seharusnya dilarang berdasarkan hukum pidana
Negara-negara Anggota, dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara hak-hak
sipil warga negara dan kebutuhan untuk melakukan proteksi terhadap
computer-related crime tersebut.
Pada perkembangannya, CE membentuk
Committee of Experts on Crime in Cyberspace of the Committee on Crime Problems,
yang pada tanggal 25 April 2000 telah mempublikasikan Draft Convention on
Cyber-crime sebagai hasil kerjanya ( http://www.cybercrimes.net),
yang menurut Prof. Susan Brenner (brenner@cybercrimes.net) dari University of
Daytona School of Law, merupakan perjanjian internasional pertama yang mengatur
hukum pidana dan aspek proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang
berkaitan erat dengan penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai
penyalahgunaan sejenis.
Dari berbagai upaya yang dilakukan
tersebut, telah jelas bahwa cybercrime membutuhkan global action dalam
penanggulangannya mengingat kejahatan tersebut seringkali bersifat
transnasional. Beberapa langkah penting yang harus dilakukan setiap negara
dalam penanggulangan cybercrime adalah:
2. Jelaskan
ruang lingkup UU no. 19 tentang hak cipta dan prosedur pendaftaran HAKI!
UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa Hak
Cipta adalah hak yang mengatur karya intelektual di bidang ilmu pengetahuan,
seni dan sastra yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan diberikan pada ide,
prosedur, metode atau konsep yang telah dituangkan dalam wujud tetap. Untuk
mendapatkan perlindungan melalui Hak Cipta, tidak ada keharusan untuk
mendaftarkan. Pendaftaran hanya semata-mata untuk keperluan pembuktian belaka.
Dengan demikian, begitu suatu ciptaan berwujud, maka secara otomatis Hak Cipta
melekat pada ciptaan tersebut. Biasanya publikasi dilakukan dengan mencantumkan
tanda Hak Cipta ©. Perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Cipta dimaksudkan
sebagai upaya untuk mewujudkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan
berkembangnya semangat mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra.
Pemegang Hak Cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak
cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta atau pihak lain yang
menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.
PERSYARATAN PERMOHONAN HAK CIPTA
- Mengisi formulir pendaftaran ciptaan rangkap tiga (formulir dapat diminta secara cuma-cuma pada Kantor Wilayah), lembar pertama dari formulir tersebut ditandatangani di atas materai Rp.6.000 (enam ribu rupiah).
- Surat permohonan pendaftaran ciptaan mencantumkan:
- Nama, kewarganegaraan dan alamat pemegang hak cipta; nama, kewarganegaraan dan alamat kuasa; jenis dan judul ciptaan.
- Tanggal dan tempat ciptaan diumumkan untuk pertama kali.
- Uraian ciptaan rangkap 4.
3. Surat
permohonan pendaftaran ciptaan hanya dapat diajukan untuk satu ciptaan.
4. Melampirkan
bukti kewarganegaraan pencipta dan pemegang hak cipta berupa fotocopy KTP atau
paspor.
5. Apabila
pemohon badan hukum, maka pada surat permohonannya harus dilampirkan turunan
resmi akta pendirian badan hukum tersebut.
6. Melampirkan
surat kuasa, bilamana permohonan tersebut diajukan oleh seorang kuasa, beserta
bukti kewarganegaraan kuasa tersebut.
7. Apabila
permohonan tidak bertempat tinggal di dalam wilayah RI, maka untuk keperluan
permohonan pendaftaran ciptaan ia harus memiliki tempat tinggal dan menunjuk
seorang kuasa di dalam wilayah RI.
8. Apabila
permohonan pendaftaran ciptaan diajukan atas nama lebih dari seorang dan atau
suatu badan hukum, maka nama-nama pemohon harus ditulis semuanya, dengan
menetapkan satu alamat pemohon.
9. Apabila
ciptaan tersebut telah dipindahkan, agar melampirkan bukti pemindahan hak.
10. Melampirkan
contoh ciptaan yang dimohonkan pendaftarannya atau penggantinya.
11. Membayar
biaya permohonan pendaftaran ciptaanRp.200.000, khusus untuk permohonan
pendaftaran ciptaan program komputer sebesar Rp.300.000.
3. Jelaskan
tentang UU no. 36 tentang telekomunikasi dan keterbatasan UU telekomuikasi
dalam mengatur penggunaan teknologi informasi!
Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 yang brisikan azas dan
tujuan telekomunikasi, penyelenggaraan telekomunikasi, penyidikan, sangsi
administrasi dan ketentuan pidana. Namun kita perlu mengetahui juga adakah
keterbatasan UU telekomunikasi tersebut dalam mengatur penggunaan teknologi
informasi. Kemudian Dalam UU No.36/1999 Pasal 3, disebutkan
bahwa “Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan
dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara
adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta
meningkatkan hubungan antar bangsa”. Dan selain itu ada juga Selain itu
dalam UU No.36/1999 Pasal 26 tersebut juga disebutkan bahwa
"Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang
diambil dari presentase pendapatan". Mengenai susunan dan besaran tarif
penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi yang dimaksud dalam UU 36/1999
ditetapkan berdasarkan formula yang diatur dalam PP No.52/2000 dan PERMEN
KOMINFO No. 12/2006 sebagai peraturan pelaksana UU tersebut.
4. Jelaskan
pokok-pokok pikiran dan implikasi pemberlakuan UU ITE tentang informasi dan
transaksi elektronik (ITE) peraturan lain yang terkait (peraturan Bank
Indonesia tentang internet banking)!
Hukum lahir menyertai perkembangan masyarakat untuk menjamin
adanya ketentraman hidup bermasyarakat. Demikian halnya dengan hukum
perdangangan internasional yang berbasis teknologi informasi, setiap transaksi
elektronik perlu diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan yang baru
yaitu UU Informasi dan Transaksi Elektronik Np. 11 tahun 2008. Pokok pikiran
dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), terdapat dalam pasal – pasal
di bawah ini :
- Pasal 8 Pengakuan Informasi
Elektronik
- Pasal 9 Bentuk Tertulis
- Pasal 10 Tanda tangan
- Pasal 11 Bentuk Asli & Salinan
- Pasal 12 Catatan Elektronik
- Pasal 13 Pernyataan dan Pengumuman
Elektronik
TRANSAKSI ELEKTRONIK terdapat dalam Pasal-pasal berikut ini
:
- Pasal 14 Pembentukan Kontrak
- Pasal 15 Pengiriman dan Penerimaan
Pesan
- Pasal 16 Syarat Transaksi
- Pasal 17 Kesalahan Transkasi
- Pasal 18 Pengakuan Penerimaan
- Pasal 19 Waktu dan lokasi pengiriman
dan penerimaan pesan
- Pasal 20 Notarisasi, Pengakuan dan Pemeriksaan
- Pasal 21 Catatan Yang Dapat
Dipindahtangankan
Implikasi Pemberlakuan RUU ITE
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE)
mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet
sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UUITE
ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. UUITE
mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada
umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan
tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan. Penyusunan materi
UUITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun oleh dua institusi
pendidikan yakni Unpad dan UI. Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan
Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada
penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di ITB yang kemudian
menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU
PTI). Sedangkan Tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Transaksi
Elektronik. Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan
disesuaikan kembali oleh Tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama
pemerintah), sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR.
Referensi: